Oleh : Zahid Djuremi
Apa itu indigo?
Indigo sering diartikan dengan anak yang mempunyai kemampuan untuk melihat makhluk halus atau alam ghoib. Bukan indigo seperti itu yang kita bicarakan, tapi zat warna alam berwarna biru yang dihasilkan oleh tanaman Indigofera!
Saya yakin Anda pernah mendengar peribahasa “Karena nila setitik, rusak susu sebelahnya…..ehhh salah….. sebelanga ”!
Nila..yang telah kita kenal sejak di bangku sekolah dasar inilah yang sekarang banyak dikenal sebagai indigo (dalam bahasa Jawa disebut” nilo’).
Warnanya nila seperti apa? Warna biru jeans, adalah contoh produk warna dari tanaman indigo. Dan sebelum ditemukannya zat warna sintetik, semua produsen jeans di Eropa menggunakan nila sebagai pewarnanya. Termasuk jeans merk kenamaan DENIM menggunakan pewarna indigo ini.
Jadi indigo merupakan zat warna biru yang didapatkan dari tanaman yang mempunyai nama latin Indigofera sp. Di tanah Sunda tanaman ini dikenal sebagai Tarum, sedangkan sebutan di tanah Jawa..sangat keren … “tom”.
Di kampung saya, kalau Anda ketemu orang dan menanyakan tentang tanaman indigo, hanya sedikit orang yang tahu. Namun kalau Anda tanya, apa itu “tom”, anak-anak sampai simbah-simbahpun tahu!
Kenapa bisa begitu? Kami tidak bisa dilepaskan dari sejarah masa lalu dengan “tom” ini.! Begitu membekasnya si “tom” ini sampai melekat hingga lintas generasi.
Tidak ada referensi yang bisa menjadi rujukan untuk sebutan “tom” bagi Indigofera sp di daerah ini.. Mungkin saja, dahulu yang menjadi Pak Mandor saat tanam paksa Indigofera sp di daerah ini bernama Mr Tom, dimana orangnya sangat special…jadi tanaman nila ini lebih dikenal dengan “tom”! ( Tentu saja cerita ini hanya versi saya, yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kesakhihannya).
Perlu diketahui, dimasa penjajahan dahulu, nila (tarum) merupakan salah satu komoditi ekspor penting pemerintah Hindia Belanda selain tebu.
Dengan kebijakan “culture stelsel” yang diiplementasikan dengan Sistem Tanam Paksa, saat itu, negeri ini menjadi penghasil nila terbesar di dunia! Dan kakek=nenek kami, menjadi bagian sejarah emas itu (tepatnya menjadi korban) dari pedihnya Sistem Tanam Paksa ini.
Begitu tinggi nilai komoditas pewarna nila ini, sehingga disebut sebagai “emas biru”! Namun karena diproduksi dengan menguras keringat rakyat, disindir dengan sebutan “keringat biru”. Dan di kampung kami, masih ada saksi sejarah kekejaman penjajah Belanda yang tertinggal yaitu adanya jaringan rel kereta api yang dulunya igunakan sebagai sarana pengangkut hasil bumi ke kota.
Itulah sebabnya, ketika saya membudidayakan tom atau Indigofera yang masih asing bagi saya sendiri, ternyata “tidak “ bagi banyak orang terutama yang sudah “sepuh-sepuh”. Mereka sangat familiar dengan tanaman ini.
Tentang Kami #2
Ini adalah cerita tentang kami, bagaimana kami kemudian berkenalan , berteman dan bergelut dengan si biru “INDIGO”.
Berawal dari diberikannya sebungkus benih indigofera yang sudah hampir dibuang, oleh seorang teman pencelup warna alam indigo. Dia mengatakan bahwa mungkin tumbuhan ini akan cocok untuk ditanam didaerah pesisir selatan tempat kami tinggal,
O..iya kami belum ceritakan dimana kami tinggal, benar kami tinggal dipesisir selatan kota Yogyakarta, tepatnya di dekat muara Sungai Progo, di Dusun Babakan, kelurahan Poncosari, kecamatan Srandakan, kabupaten Bantul. Rumah kami hanya berjarak 1,5km dari pantai selatan, tapi tenang saja , kami tidak takut dengan tsunami atau banjir sungai Progo, bukankah semua sudah memiiki garis kematiannya masing-masing? Dimanapun itu, ajal bisa kapan saja datang. Jadi berprasangkalah yang baik-baik saja.
Oke, kita kembali ke topic kita, kenapa orang berpikir bahwa tumbuhan Indigofera cocok ditanam di dataran rendah dengan temperatur udara sedang dan matahari bersinar penuh seharian.
Struktur tanah di daerah kami yang berpasir, memang cocok untuk tumbuhan Indigofera yang mempunyai akar berbintil ini. Intensitas matahari yang tinggi juga sangat dibutuhkan memaksimalkan proses fotosintesis sehingga tumbuhan ini bisa menghasilkan indigonin (zat warna) dengan optimal.
Saya bersama istri tercinta Eyster Puspitasari (owner Puspita Indigo Batik) memulai perjalanan ini. Kami lakukan penelitian kecil, mengamati, mencatat, dan menganalisa semuanya. Dari beberapa referensi coba kami kembangkan, dan kami temui kegagalan demi kegagalan. Namun itu tak bisa menyurutkan langkah kami untuk bisa dapatkan pasta Indigo dengan kualitas yang super.
Yah..ternyata memang sulit sekali menjadi teman dari si biru INDIGO, dia termasuk pewarna yang sensitive (“baperan” kalau bahasa anak zaman milenia), dalam perjalanannya warna yang dihasilkan masih belum stabil, kadang biru cantik, kadang sedikit hijau. Ketidakstabilan itu menjadikan kami terus mencari tahu apa sebenarnya yang menjadi rahasia si Biru,
NIla/ Pasta Indigo
Ada cerita unik dari simbah dulu, katanya kalau mau memproses pasta indigo kita tidak boleh dalam keadaan marah, atau galau. Bahkan perempuan yang sedang haid dilarang mendekat. Mereka juga punya ritual khusus sebelumnya, yaitu dengan mempersembahkan semacam sesaji!
Sebelum tertarik berteman dengan si biru INDIGO, saya berprofesi sebagai seorang Medical Representatif yang berbekal ijazah S1, jurusan Biologi Universitas Gadjah Mada. Ohh ya..sebagai medical representatif itu salah satu tugasnya adalah memberikan detail informasi tentang obat yang pasarkannya kepada para dokter binaanya. Terakhir saya bergabung dengan PT Sandoz Indonesia, sebuah perusahaan farmasi global yang berkantor pusat di Jerman.
Untuk bisa bertemu dokter, tidak selalu di rumah sakit. Lebih sering di tempat prakteknya pada sore dan malam hari. Saat menunggu dokter inilah saya sering mampir ke tempat temen bekerja sebagai pencelup batik dengan indigo (istilah Jawanya “medel”) di GalerI Batik Jawa yang berada di pusat kota, tepatnya di Jl. A.M. Sangaji.
Dari pertemuan itulah kemudian mereka menyarankan agar saya membudidayakan Indigofera sebagai bahan baku untuk membuat “nila” atau pasta indigo. Perusahaan batik dimana mereka bekerja, membutuhkan banyak sekali pasta indigo, namun tidak mudah mendapatkannya. Hal ini karena pemasoknya tidak membudidayakan sendiri tanaman Indigofera sebagai bahan baku. Mereka hanya mengandalkan dari alam, sehingga ketika musim kemarau pasta indigo ini sangat sulit didapatkan.